Memahami Asuransi dan Pandangan Islam tentang Asuransi

Asuransi (insurance) memiliki pengertian beragam.  Asuransi juga diartikan sebagai sistem yang menetapkan penanggung (insurer), karena perikatan yang biasanya telah disetujui di depan, berjanji membayar atau memberi pelayanan kepada tertanggung (insured) dalam keadaan terjadi kejadian tertentu yang mengakibatkan kerugian selama periode tertentu.

BANUASYARIAH.COM - Asuransi (insurance) memiliki pengertian beragam.  Asuransi juga diartikan sebagai sistem yang menetapkan penanggung (insurer), karena perikatan yang biasanya telah disetujui di depan, berjanji membayar atau memberi pelayanan kepada tertanggung (insured) dalam keadaan terjadi kejadian tertentu yang mengakibatkan kerugian selama periode tertentu.

Salah satu situs yang banyak membahas ini diantaranya britannica.com, yang mengartikan asuransi sebagai janji kompensasi untuk kerugian spesifik yang mungkin terjadi pada masa depan sebagai imbalan dari pembayaran secara periodik.

Sementara investorwords.com, mengartikan Asuransi sebagai mekanisme pengalihan risiko yang menjamin kompensasi finansial secara penuh atau parsial untuk kerugian atau kerusakan akibat kejadian diluar kontrol pihak yang dijamin

D.S. Hansell dalam bukunya Elements of Insurance menyatakan bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko (Insurance is to do with risk). Prof. Robert I. Mehr dan Emerson Cammack dalam bukunya Principles of Insurance menyatakan bahwa suatu pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi.

Dr. Jamal al-Hakim dalam bukunya ‘Uqûd at-Ta’mîn, setelah mendiskusikan beragam pengertian at-ta’mîn, menyebutkan pengertian yang paling komprehensif. At-Ta’mîn adalah akad yang menetapkan Penanggung (al-mu’ammin) berkomitmen untuk membayar kepada Tertanggung (al-mu’amman lahu) atau penerima manfaat yang disebutkan sejumlah uang atau pendapatan teratur atau kompensasi finansial lainnya dalam kondisi terjadinya peristiwa atau risiko yang dijelaskan di dalam akad; hal itu sebagai kompensasi dari angsuran atau pembayaran uang oleh pihak Tertangung (al-mu’amman lahu) kepada pihak Penanggung (al-mu’ammin).

Di dalam UU No. 40/2014 tentang Perasuransian (UU Asuransi yang baru menggantikan UU No. 2 tahun 1992), pada Pasal 1 disebutkan:
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu pristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.


Karakter Asuransi

Dari penjelasan pengertian diatas, asuransi itu memiliki beberapa karakter:
Tujuan asuransi adalah pengalihan risiko (transfer of risk) yang mungkin diderita oleh pihak tertanggung (al-mu’amman lahu) yang muncul dari suatu peristiwa tak pasti. Risiko itu dialihkan dari pihak tertanggung kepada penanggung (al-mu’ammin). Pengalihan risiko (transfer of risk) itu menjadi prinsip dasar asuransi baik komersial maupun syariah. Untuk itu pihak tertanggung harus membayarkan sejumlah uang yang disebut premi kepada pihak penanggung.

Ada jangka waktu yang disepakati untuk pengalihan risiko, pembayaran manfaat dan pembayaran premi.

Penanggung menerima pengalihan risiko dan bentuknya adalah komitmen untuk membayar sejumlah uang atau memberikan pelayanan (seperti dalam asuransi kesehatan) ketika peristiwa yang tak pasti benar-benar terjadi.

Risiko itu bersifat tak tentu, artinya bisa terjadi dan bisa juga tidak. Itu artinya manfaat yang dijanjikan oleh Penanggung bisa diterima oleh Tertanggung atau Penerima manfaat yang ditunjuk, dan bisa juga tidak, didasarkan pada terjadi atau tidaknya resiko yang dijamin.

Tertanggung membayar sejumlah uang yang disebut premi, baik sekaligus atau diangsur, kepada Penanggung sebagai kompensasi dari pengalihan risiko dan komitmen Penanggung untuk membayar sejumlah uang atau memberikan pelayanan kepada Tertanggung atau penerima manfaat yang ditunjuk.

Jumlah yang dibayarkan oleh Tertanggung bisa tidak jelas karena bergantung pada kapan terjadinya risiko/peristiwa yang tak pasti, misalnya kematian.

Jumlah manfaat (uang) yang diterima oleh Tertanggung atau penerima manfaat juga bisa tidak jelas karena bergantung pada terjadinya risiko/peristwa yang tak pasti itu.

Motif dalam asuransi ini bagi Penanggung bukan motif kemanusiaan, tetapi motif bisnis atau motif benefit, yaitu untuk mendapatkan keuntungan. Pihak penanggung sebagai perusahaan dengan model statistik dan probabilitas bisa menghitung berapa besar risiko yang dihadapi oleh Tertanggung dan kemungkinan klaim yang akan dibayarkan. 

Perusahaan pun bisa menghitung besarnya nilai penggantian yang harus dibayarkan. Kemudian perusahaan masih memasukkan biaya operasional dan nisbah keuntungan yang diinginkan. Dengan itu perusahaan bisa menentukan besaran premi yang harus dibayar oleh Tertanggung. Semakin banyak nasabah yang bisa direkrut oleh perusahaan maka lebih mudah memperhitungkan itu dan keuntungan yang bisa diraih oleh perusahaan pun bisa lebih besar.


Hukum Asuransi

Ibn Abidin (w. 1252 H/1836 M) menyatakan:

Telah berlangsung kebiasaan bahwa para pedagang, jika mereka menyewa kapal dari seorang kafir harbi, selain menyerahkan uang sewanya juga menyerahkan sejumlah uang kepada orang kafir harbi yang tinggal di negerinya itu. Harta yang dibayarkan itu disebut sawkarah. 

Jika terjadi kerusakan apapun atas harta di kapal itu baik karena terbakar, tenggelam, dirampok atau lainnya, maka orang kafir harbi itu menjadi penjaminnya dengan kompensasi berupa harta yang ia terima dari para pedagang itu. Orang kafir harbi itu memiliki wakil seorang musta’min—orang kafir yang masuk ke negeri Muslim karena mendapat izin—di negeri kita yang tinggal di negeri-negeri pantai bagian dari negeri Islam atas izin dari penguasa. Wakil itulah yang menerima uang sawkarah dari para pedagang tersebut. 

Jika harta para pedagang itu rusak di laut manapun, maka musta’min itu (wakil orang kafir harbi) akan menyerahkan pengganti harta tersebut secara sempurna kepada para pedagang itu. Yang tampak jelas bagiku adalah bahwa para pedagang itu tidak halal mengambil uang pengganti hartanya yang rusak itu karena itu artinya iltizâm mâ lâ yalzam (mewajibkan sesuatu yang tidak wajib).” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtâr, iv/170).

Pernyataan ini agaknya merupakan jawaban Ibn Abidin tentang status hukum asuransi maritim yang marak pada masa itu dan masuk ke negeri Islam berasal dari Eropa. Di Eropa sendiri asuransi maritim itu sudah berkembang sejak abad ke-14. Kata sawkarah itu menurut Muhthafa Zarqa berasal dari bahasa Prancis “sekurity” yang artinya aman dan menjadi aman. Dari sini jelas bahwa menurut Ibn Abidin, asuransi seperti itu hukumnya haram.

Tampak jelas bahwa at-ta’mîn itu (asuransi) itu merupakan adh-dhamân. Berdasarkan ketentuan hukum adh-dhamân menurut syariah, tampak jelas at-ta’mîn (asuransi) adalah haram karena tidak memenuhi rukun, substansi dan ketentuan adh-dhamân.

Pertama: Di dalam akad at-ta’mîn tidak ada hak finansial yang wajib ditunaikan oleh Tertanggung. Jadi, tidak ada dzimmah (tanggungan). Karena itu tidak ada penggabungan tanggungan (dhammu adz-dzimmah) Penanggung kepada tanggungan Tertanggung. Padahal ada-tidaknya dhammu adz-dzimmah itu menentukan ada-tidaknya adh-dhamân.

Kedua: Obyek akad at-ta’mîn adalah komitmen Penanggung. Padahal secara syar’i, obyek akad itu harus berupa sesuatu (al-asysyâ‘) atau jasa.

Ketiga: Penanggung mendapat imbalan uang atas komitmennya untuk menanggung. Padahal dalam adh-dhamân menurut Islam, ad-dhâmin tidak boleh mendapat imbalan dalam bentuk apapun. Pasalnya, akad adh-dhâman itu sifatnya tabarru’ (donasi) bukan tabaduli (pertukaran).

Selain itu, keharaman akad at-tamîn itu juga karena di dalamnya mengandung unsur gharar (penipuan), jahalah (kesamaran), maysir/qimâr (judi), riba dan kezaliman. Majma’ al-Fiqh al-Islâmi, pada konggresnya tanggal 10 Sya’ban 1398 H, telah bersepakat mengharamkan asuransi komersial (at-ta’mîn at-tijârî) dengan sejumlah alasan yaitu: asuransi mengandung gharar, mempraktikkan riba, mengandung unsur judi, dan mengakibatkan memakan harta orang lain secara tidak sah.

WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. 


Penulis : Yoyok Rudianto
Source : hizbut-tahrir.or.id,
Memahami Asuransi dan Pandangan Islam tentang Asuransi Memahami Asuransi dan Pandangan Islam tentang Asuransi Reviewed by Unknown on 9:12:00 AM Rating: 5